PENGERTIAN AS-SUNNAH MENURUT SYARI’AT
بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Pengertian As-Sunnah Menurut Syari’at
As-Sunnah menurut istilah syari’at ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir (penetapan), sifat tubuh serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri’ (pensyari’atan) bagi ummat Islam.[1]
As-Sunnah menurut istilah syari’at ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir (penetapan), sifat tubuh serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri’ (pensyari’atan) bagi ummat Islam.[1]
Adapun hadits menurut bahasa ialah sesuatu yang baru.
Secara istilah sama dengan As-Sunnah menurut Jumhur Ulama.
Secara istilah sama dengan As-Sunnah menurut Jumhur Ulama.
Ada ulama yang menerangkan makna asal secara bahasa bahwa: Sunnah itu untuk perbuatan dan taqrir, adapun hadits untuk ucapan. Akan tetapi ulama sudah banyak melupakan makna asal bahasa dan memakai istilah yang sudah lazim digunakan, yaitu bahwa As-Sunnah muradif (sinonim) dengan hadits.
As-Sunnah menurut istilah ulama ushul fiqih ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW selain dari Al-Qur-an, baik perbuatan, perkataan, taqrir (penetapan) yang baik untuk menjadi dalil bagi hukum syar’i.
Ulama ushul fiqih membahas dari segala yang disyari’atkan kepada manusia sebagai undang-undang kehidupan dan meletakkan kaidah-kaidah bagi perundang-undangan tersebut.
As-Sunnah menurut istilah ahli fiqih (fuqaha’) ialah segala sesuatu yang sudah tetap dari Nabi SAW dan hukumnya tidak fardhu dan tidak wajib, yakni hukumnya sunnah.[2]
As-Sunnah menurut ulama Salaf adalah petunjuk yang dilaksanakan oleh Rasulullah SAW dan para Shahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqaad (keyakinan), perkataan maupun perbuatannya.[3]
Contoh-contoh dari definisi Sunnah yang dibawakan oleh ahli hadits antara lain:
a. Hadits qauli (Sunnah dalam bentuk ucapan) ialah segala ucapan Nabi SAW yang ada hubungannya dengan tasyri’, sebagaimana sabda Nabi SAW :
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ.
“Di antara kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.” [4]
b. Hadits fi’li (Sunnah yang berupa perbuatan) ialah segala perbuatan Nabi SAW yang diberitakan oleh para Shahabatnya tentang wudhu’, shalat, haji, dan selainnya.
Contoh:
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ: أَنَّ النَّبِيَّصَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُخَلِّلُ لِحْيَتَهُ.
“Dari ‘Utsman bin ‘Affan bahwasanya Nabi SAW (apabila berwudhu’), beliau menyela-nyela jenggotnya.” [5]
c. Hadits taqriri ialah segala perbuatan Shahabat yang diketahui oleh Nabi SAW dan beliau membiarkannya (sebagai tanda setuju) dan tidak mengingkarinya.
Contoh:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِبِلاَلٍ عِنْدَ صَلاَةِ الصُّبْحِ: يَا بِلاَلُ! حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي اْلإِسْلاَمِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ، قَالَ: مَا عَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِيْ أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طُهُوْراً فِي سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُوْرِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّيَ.
“Nabi SAW bersabda kepada Bilal setelah selesai shalat Shubuh, ‘Wahai Bilal, kabarkanlah kepadaku sebaik-baik amalan yang telah engkau kerjakan dalam Islam, karena aku telah mendengar suara terompahmu di dekatku di Surga?’ Ia menjawab, ‘Sebaik-baik amal yang aku kerjakan ialah, bahwa setiap kali aku berwudhu’ siang atau malam mesti dengan wudhu’ itu aku shalat (sunnah) beberapa raka’at yang dapat aku laksanakan.’” [6]
Atau kisah dua Shahabat yang melakukan safar, keduanya tidak menemukan air (untuk wudhu’) sedangkan waktu shalat sudah tiba, lalu keduanya bertayammum dan mengerjakan shalat, kemudian setelah selesai shalat mereka menemukan air sedang waktu shalat masih ada, maka salah seorang dari keduanya mengulangi wudhu’ dan shalatnya, kemudian keduanya mendatangi Rasulullah SAW dan menceritakan kejadian itu. Lalu beliau bersabda kepada Shahabat yang tidak mengulangi shalatnya, “Engkau telah berbuat sesuai dengan Sunnah.” Dan kepada yang lain (Shahabat yang mengulangi shalatnya), beliau bersabda, “Engkau mendapatkan dua ganjaran.” [7]
Di antara makna Sunnah Nabi SAW adalah sebagaimana yang difahami oleh para Shahabat dan Salafush Shalih Ridhwanullaah ‘alaihim ajma’iin adalah sebagai sumber kedua setelah Al-Qur-anul Karim
Sering kita menyebut Kitabullaah dan Sunnah Rasulullah SAW, maksudnya adalah Sunnah sebagai sumber nilai tasyri’. Al-Qur-an menyifatkan As-Sunnah dengan makna hikmah.
Allah SWT berfirman:
رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ ۚ إِنَّكَ أَنتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Ya Rabb kami, utuslah kepada mereka seorang Rasul di antara mereka yang akan membacakan ayat-ayat-Mu kepada mereka dan mengajarkan Al-Kitab dan Al-Hikmah kepada mereka dan mensucikan mereka (dari kelakuan-kelakuan yang keji), sesungguhnya Engkau Mahamulia lagi Mahabijaksana.” [Al-Baqarah: 129]
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
“Sesungguhnya Allah telah memberi karunia bagi orang-orang yang beriman, ketika Dia mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya dan membersihkan mereka (dari sifat-sifat jahat), dan mengajarkan Al-Kitab (Al-Qur-an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah). Sesungguhnya mereka sebelum itu dalam kesesatan yang nyata.” [Ali ‘Imran: 164]
وَأَنزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُن تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
“… Dan Allah telah menurunkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah dan mengajarkanmu apa-apa yang tidak kamu ketahui. Dan karunia Allah kepadamu amat besar.” [An-Nisaa’: 113]
وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
“Sebutlah apa-apa yang dibacakan dalam rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah, sesungguhnya Allah Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” [Al-Ahzaab: 34]
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
“Dialah yang mengutus kepada ummat yang ummi seorang Rasul dari antara mereka yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya. Yang membersihkan mereka dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Sesungguhnya mereka sebelum itu dalam kesesatan yang nyata.” [Al-Jumu’ah: 2]
Maksud penyebutan Al-Kitab pada ayat-ayat di atas adalah Al-Qur-an. Dan yang dimaksud dengan Al-Hik-mah adalah As-Sunnah.
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Allah menyebut al-Kitab, yang dimaksud adalah Al-Qur-an dan menyebut Al-Hikmah. Aku mendengar di negeriku dari para ahli ilmu yang mengerti Al-Qur-an berkata bahwa Al-Hikmah adalah As-Sunnah.”[8]
Qatadah rahimahullah berkata, “Yang dimaksud Al-Hikmah adalah As-Sunnah.” Begitu pula penjelasan dari al-Hasan al-Bashri.[9]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu…” [An-Nisaa’: 59]
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Taat kepada Allah dengan mengikuti Kitab-Nya dan taat kepada Rasul adalah mengikuti dan As-Sunnah.” [10]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Banyak dari Salafush Shalih berkata bahwa Al-Hikmah adalah As-Sunnah.” Karena sesungguhnya yang dibaca di rumah-rumah isteri Nabi رَضِيَ اللهُ عَنْهُن selain Al-Qur-an adalah Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
أَلاَ إِنِّي أُوْتِيْتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ.
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan Al-Kitab dan yang sepertinya bersamanya.” [11]
Hasan bin Athiyyah rahimahullah berkata, “Jibril Alaihissallam turun kepada Nabi SAW membawa As-Sunnah sebagaimana Al-Qur-an. Mengajarkan As-Sunnah itu sebagaimana ia mengajarkan Al-Qur-an.” [12]
Dan lihat pula kitab-kitab tafsir yang menafsirkan ayat ini (Al-Ahzaab: 34) dalam Tafsir Ibnu Katsir dan lainnya dari tafsir Al-Qur-an bil ma’tsur.
Para Salafush Shalih memberi makna As-Sunnah dengan agama dan syari’at yang dibawa oleh Rasulullah SAW secara mutlak dalam masalah ilmu dan amal, dan apa-apa yang diterima oleh para Shahabat, Tabi’in dan Salafush Shalih dalam bidang ‘aqidah maupun furu’.
Abu Bakar Radhiyallahu anhu berkata, “Sunnah itu adalah tali Allah yang kuat.” [13]
‘Abdullah bin ad-Dailamy rahimahullah (dari pembesar Tabi’in) berkata, “Telah sampai kepadaku bahwa awal hilangnya agama ini adalah karena manusia meninggalkan As-Sunnah.” [14]
Imam al-Lalika-i membawakan penafsiran ayat:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا
“Kemudian kami jadikan kamu di atas syari’at dari perintah, maka ikutilah…” [Al-Jaatsiyah: 18]
“Yakni engkau berada di atas Sunnah.” [15]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Sesungguhnya As-Sunnah itu adalah syari’at, yakni apa-apa yang disyari’atkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari agama (ini).” [16]
As-Sunnah adalah yang dimaksud dengan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih.
Wassalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar