SUNNAH: MEMANJANGKAN JENGGOT

Translate

Minggu, 29 September 2019

MEMANJANGKAN JENGGOT



 Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah
بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِSegala puji bagi Allah, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti petunjuknya. Amma ba’du.
Telah tersebar pada buletin Al Madinah edisi tanggal 24/1/1415H yang memuat perkataan Syaikh Muhammad bin Ali Ash Shabuni -semoga Allah mengampuninya- yang diantara isinya:
“terkait penampilan seorang Muslim, hendaknya seorang Muslim memangkas rambutnya, memotong kukunya, merawat jenggotnya dan tidak dibiarkan semrawut, semestinya jenggot itu dipangkas atau dipendekkan, tidak dibiarkan memanjang sehingga membuat anak-anak serta orang lain ketakutan. Kaidah mengatakan: kullu syai’in zada ‘an haddihi, inqalaba ilaa dhiddihi (Segala sesuatu yang melebihi batas akan menimbulkan hal yang sebaliknya [keburukan]). Diantara para pemuda ada yang menyangka bahwa memangkas sedikit jenggot itu haram. Dan saya lihat sebagian mereka memutlakan secara kaku larangan tersebut sehingga jenggot mereka sampai sepanjang pusar mereka. Sehingga jadilah penampilan mereka seperti Ash-habul Kahfi (penghuni gua) :
لَوِ اطَّلَعْتَ عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا
Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka“. (QS. Al Kahfi: 18)”.
Dan seterusnya yang juga disebutkan hadits dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga dari Ibnu Umar radhiallahu’anhuma.
Dikarenakan penyataan ini menyelisihi sunnah Nabi yang shahihah, dan di dalamnya terdapat pembolehan untuk memangkas serta memendekkan jenggot, maka saya memandang wajibnya untuk memberikan peringatan terhadap apa yang ada dalam pernyataan tersebut -semoga Allah memberi taufiq kepada penulisnya- yaitu berupa kesalahan yang fatal dan penyelisihan yang nyata terhadap sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
Terdapat hadits shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dari hadits Ibnu Umar radhiallahu’anhuma, dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, serta kitab Sunan yang lainnya, bahwa Nabi bersabda:
قصوا الشوارب وأعفوا اللحى
Pendekkan kumis dan panjangkanlah jenggot“.
Dalam lafadz yang lain:
قصوا الشوارب ووفروا اللحى، خالفوا المشركين
Pendekkan kumis dan panjangkanlah jenggot, bedakanlah diri dengan orang-orang Musyrikin“.
Dalam Shahih Muslim, dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
جزوا الشوارب وأرخوا اللحى، خالفوا المجوس
Pangkaslah kumis dan biarkanlah jenggot,bedakanlah diri dengan orang-orang Majusi“.
Dalam hadits-hadits ini terdapat perintah yang tegas untuk memanjangkan jenggot, memperbanyaknya, membiarkannya (tidak mencukurnya), serta memendekkan kumis. Dalam rangka membedakan diri dengan orang Musyrikin dan orang Majusi. Dan hukum asal perintah adalah wajib. Maka tidak boleh menyelisihi perintah ini kecuali dengan dalil yang menunjukkan tidak wajibnya. Dan tidak dalil lain yang menunjukkan bolehnya mencukur jenggot, bolehnya memendekkan jenggot atau bolehnya untuk tidak memanjangkan jenggot.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Ajaran yang dibawa oleh Rasulullah maka kerjakanlah, apa-apa yang dilarang oleh Rasulullah maka tinggalkanlah” (QS. Al Hasyr: 7).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلا الْبَلاغُ الْمُبِينُ
Katakanlah: “Taat kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang”” (QS. An Nur: 54).
Ia juga berfirman:
وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat” (QS. An Nur: 56).
Ayat-ayat dan hadits-hadits yang maknanya demikian banyak sekali. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
كل أمتي يدخلون الجنة إلا من أبى، قيل: يا رسول الله ومن يأبى؟! قال: من أطاعني دخل الجنة، ومن عصاني فقد أبى
“Setiap umatku akan masuk surga kecuali yang enggan”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, siapa yang enggan masuk surga?”. Beliau bersabda: “barangsiapa menaatiku ia masuk surga, barangsiapa bermaksiat terhadap perintahku ia enggan masuk surga” (HR. Al Bukhari).
Beliau juga bersabda:
ما نهيتكم عنه فاجتنبوه، وما أمرتكم به فأتوا منه ما استطعتم، فإنما هلك من كان قبلكم بكثرة مسائلهم واختلافهم على أنبيائهم
Segala yang aku larang maka tinggalkanlah, dan segala yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampu kalian. Karena umat sebelum kalian telah binasa karena terlalu banyak bertanya dan banyak menyelisihi perintah Nabi-Nabi mereka” (Muttafaqun ‘alaihi).
Hadits-hadits yang semisal ini juga banyak sekali.
Syaikh Muhammad Ash Shabuni, sebagaimana disebutkan diatas, berdalil dengan hadits riwayat Tirmidzi, dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam:
أنه كان يأخذ من لحيته من طولها وعرضها
Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam pernah mengambil (memangkas) jenggotnya dari sisi samping dan dari sisi panjangnya (bawah)“.
Hadits ini sanadnya lemah, tidak shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Andaikan hadits ini shahih maka bisa dijadikan hujjah dalam masalah ini, namun sayangnya tidak shahih. Karena di dalam sanadnya terdapat Umar bin Harun Al Balkhi, ia statusnya matrukul hadits.
Syaikh Muhammad Ash Shabuni juga berhujjah dengan perbuatan Ibnu Umar radhiallahu’anhuma, bahwasanya beliau memangkas jenggotnya yang melebihi satu genggaman tangan ketika berhaji. Maka ini bukanlah dalil, karena ini adalah ijtihad beliau radhiallahu’anhuma. Yang menjadi dalil adalah hadits yang beliau riwayatkan bukan ijtihad beliau. Para ulama rahimahumullah menegaskan bahwa:
أن رواية الراوي من الصحابة ومن بعدهم الثابتة عن النبي صلى الله عليه وسلم هي الحجة، وهي مقدمة على رأيه إذا خالف السنة
“riwayat hadits yang shahih dari seorang para sahabat Nabi dan orang-orang setelahnya adalah hujjah (dalil), dan ia lebih didahulukan dari pada pendapat sang rawi tersebut jika ia menyelisihi sunnah”
Maka saya harap, pihak yang memberikan penyataan (yaitu Syaikh Muhammad Ash Shabuni) bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bertaubat kepada Allah atas apa yang ia tulis. Dan menyatakan koreksi atas penyataannya tersebut di surat kabar yang menerbitkan pernyataan yang tidak benar tersebut. Dan sudah menjadi perkara yang diketahui para ulama, bahwa rujuk kepada kebenaran itu merupakan kemuliaan dan wajib hukumnya serta lebih baik daripada bersikeras di atas kesalahan.
Dan saya memohon kepada Allah agar Allah memberikan taufiq-Nya kepada kami dan beliau serta seluruh kaum Muslimin agar memahami agama-Nya dengan benar. Dan semoga Allah melindungi kita semua dari keburukan nafsu kita dan keburukan amalan kita. Dan semoga Allah memperbaiki hati kita dan amalan kita. Sesungguhnya Allah itu Maha Pemurah dan Maha Pemberi Karunia.
Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya.
***
Sumber: Fatawa Ibnu Baaz, juz 29 hal. 32-36

Tidak ada komentar:

Posting Komentar